Thursday, February 17, 2022

Urgensi tarbiyah

Dalam pembahasan Takwinul Ummah telah disebutkan ada dua pilar utama pembentukan umat, yakni: takwinus syakhshiyyah (pembentukan kepribadian) dan takwinu ruhil jama’ah (pembentukan semangat berjama’ah).
Pembentukan kepribadian yang dikehendaki adalah takwinus syakhshiyyatil Islamiyah (pembentukan kepribadian Islam) melalui metode yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membentuk khairu ummah (umat terbaik), generasi pertama masyarakat Islam, yakni metode tarbiyah.[1]
Pengertian Tarbiyah
Istilah tarbiyah berasal dari tiga kata berikut: raba-yarbu yang berarti bertambah dan tumbuh; rabba-rabiya-yarba yang berarti tumbuh berkembang dan menjadi besar; rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara. Dalam tarbiyah ada upaya ziyadah (penambahan atau pembekalan), nas’ah (pertumbuhan), taghdiyyah (pemberian gizi), ri’ayah (pemeliharaan), dan muhafadzoh (penjagaan).
Syaikh Ali Abdul Halim Mahmud menjelaskan definisi tarbiyah sebagai berikut: “Cara ideal dalam berinteraksi dengan fitrah (watak/tabiat) manusia, baik secara langsung (berupa kata-kata) maupun secara tidak langsung (berupa keteladanan), untuk memproses perubahan dalam diri manusia menuju kondisi yang lebih baik.” 
Al-Ummatul Jahiliyyah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah Ta’ala ke tengah-tengah umat jahiliyyah; yaitu masyarakat yang dilingkupi oleh kebodohan terhadap hakikat kebenaran (al-jahlu). Mereka tidak mengenal Allah Ta’ala, tidak mengetahui ibadah dan tidak memahami pedoman hidup yang benar.
Kebodohan tersebut tergambar dari kepercayaan mereka yang telah menyimpang jauh dari ajaran tauhid yang dibawa oleh nenek moyang mereka Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
Pertama, mereka menyembah malaikat, karena menganggapnya sebagai anak-anak perempuan Allah. Keyakinan seperti ini dibantah oleh Allah Ta’ala melalui firman-Nya,
أَفَرَأَيْتُمُ اللاتَ وَالْعُزَّى (١٩) وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الأخْرَى (٢٠) أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الأنْثَى (٢١) تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى (٢٢) إِنْ هِيَ إِلا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الأنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى (٢٣)
“Wahai kaum kafir Quraisy, apa pendapat kalian tentang patung Latta, Uzza, dan Manat, patung lain yang ketiga? Wahai kaum kafir Quraisy, apakah anak laki-laki untuk kalian, sedangkan anak perempuan untuk Allah? Jika benar begitu, maka hal itu adalah pembagian yang tidak adil. Nama patung-patung itu hanyalah mengikuti dugaan dan selera kalian semata. Sungguh Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk dari Tuhan seluruh manusia telah datang kepada mereka.” (Q.S. An-Najm: 19-23)[4]
أَمْ خَلَقْنَا الْمَلَائِكَةَ إِنَاثًا وَهُمْ شَاهِدُونَ
“Apakah Allah menciptakan malaikat sebagai anak perempuan-Nya?Apakah kaum musyrik Quraisy menyaksikan penciptaan malaikat itu?” (Q.S. As-Shafat: 150)[5]
Kedua, mereka menyembah jin. Mereka memandang bahwa jin-jin itu mempunyai hubungan dengan para malaikat. Mereka memuliakan beberapa tempat yang mereka anggap sebagai tempat jin, diantaranya adalah sebuah tempat bernama Darahim. Mereka selalu mengadakan kurban di tempat itu agar terhindar dari bencana yang didatangkan olehnya. Keyakinan seperti ini pun dibantah oleh Allah Ta’ala melalui firman-Nya,
وَجَعَلُوا لِلَّهِ شُرَكَاءَ الْجِنَّ وَخَلَقَهُمْ وَخَرَقُوا لَهُ بَنِينَ وَبَنَاتٍ بِغَيْرِ عِلْمٍ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يَصِفُونَ
“Orang-orang musyrik menjadikan jin sebagai sekutu-sekutu Allah. Padahal Allah lah yang menciptakan jin-jin itu. Orang-orang musyrik telah berdusta tanpa ilmu sedikit pun, karena mereka mengatakan bahwa Allah mempunyai anak laki-laki dan anak perempuan. Allah Mahasuci, dan Allah Mahajauh dari segala sifat-sifat kotor yang dikatakan oleh orang-orang musyrik.” (Q.S. Al-An’am: 100)[6]
Ketiga, mereka menyembah bintang-bintang. Yang dimaksud bintang-bintang adalah matahari, bulan, dan bintang-bintang yang gemerlapan cahayanya, yang bertaburan dan beribu-ribu banyaknya itu. Mereka menyembah bintang-bintang karena menganggap bintang-bintang itu diberi kekuasaan oleh Allah untuk mengatur alam yang luas ini. Diantaranya mereka menyembah Syi’ra (planet yang paling besar).
Namun Allah menegaskan bahwa Dialah Pencipta Syi’ra. Oleh karena itu hanya Dialah yang patut disembah,
وَأَنَّهُ هُوَ رَبُّ الشِّعْرَى
“Sungguh Allah adalah Tuhan yang menguasai As-Syi’ra (planet yang paling besar).” (Q.S. An-Najm: 49)[7]
Allah Ta’ala juga memberi penerangan kepada manusia bahwa Dialah Pencipta matahari dan bulan,
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Diantara bukti kekuasaan Allah adalah adanya malam dan siang serta matahari dan bulan. Wahai manusia, janganlah kalian bersujud kepada matahari dan bulan. Akan tetapi bersujudlah kalian kepada Allah, Tuhan yang telah menciptakan matahari dan bulan, jika kalian benar-benar taat kepada-Nya.” (Q.S. Fushilat: 37)[8]
Selain berada dalam kebodohan (al-jahlu), masyarakat jahiliyyah juga berada dalam kondisi ad-dzillah (kehinaan) karena banyak melakukan perbuatan maksiat. Diantaranya adalah:
Pertama, kebiasaan meminum khamar dan berjudi. Kebiasaan buruk ini kemudian diharamkan oleh Islam
Kedua, mereka juga terbiasa berbuat zina, dengan cara terselubung—dengan menyebutnya sebagai pernikahan—atau dengan cara pelacuran seperti halnya dilakukan manusia pada masa kini. 
Ketiga, mereka terbiasa pula melakukan pencurian dan perampokan, antara satu suku kepada suku yang lain. Suku yang kuat memerangi suku yang lemah untuk merampas hartanya. Yang demikian ini terjadi karena tidak ada hukum maupun peraturan yang menjadi acuan. Mereka bukan hanya mencuri dan merampok harta benda, tetapi orang yang dirampoknya itu juga ditawan dan dijadikannya hamba sahaya atau budak belian.
Keempat, mereka gemar bertengkar dan berperang. Perkara-perkara kecil bisa menjadi peperangan besar, bahkan bisa terjadi sampai bertahun-tahun lamanya.
Singkatnya, masyarakat jahiliyah pada masa itu dalam kondisi dholalun mubin, kesesatan yang nyata. Mereka berada dalam kondisi bodoh (jahl), rendah (dzillah), lemah (dhaif) dan berpecah belah (furqah).

Tulisan ini adl copast dari sebuah catatan yg lupa sumbernya. Dicopast kesini sebagai bahan untuk dibaca kembali.

Wednesday, February 28, 2018

Tentang wanita itu

Akan ku kisahkan tentangnya. Seorang wanita dengan segala rasa di hatinya.
Ah, pasti wanita itu sangat malu jika ia tau bahwa aku sedang menceritakannya.

Ia sedang jatuh cinta. Jatuh cinta untuk kesekian kali dengan laki-laki yang sama.
Seorang laki-laki yang mengenalkannya tentang cinta. Laki-laki yang pernah membiarkannya putus asa. Laki-laki yang mengajarkannya setia dalam kesabaran Walaupun ia belum meyakini tentang sebuah kepastian, waktu itu.

Tak pernah ada yang lain. Dan dia pun tak menginginkan yang lain. Bahkan ketika ada hati-hati lain yang menawarkan, tak bisa hatinya menerima. 
Hebat sekali kau wahai lelaki! Apa yang pernah kau lakukan untuknya? Taukah engkau, jika kami bicara tentang masa depan, selalu engkau yang dibayangkannya, yg akan menjadi pemimpin baginya, menjadi orang tua untuk keturunannya.
Jika ku tanya siapa yang selalu ia sebut dalam doanya, selalu saja engkau.

Aku semakin terharu, ketika diceritakannya, bahwa engkau datang kepadanya, kepada orang tuanya. 
Ah, entah bagaimana yang dirasakan wanita ini.
Ku doakan, semoga Allah kabulkan kau dengannya menjadi seperti apa yang selalu kau doakan.

Sunday, October 22, 2017

Wednesday, April 5, 2017

All in One

Masuklah kesini, akan kau lihat semua orang- orang itu sibuk dengan urusannya masing-masing. 
Kertas-kertas itu? Ya, itu yang menjenuhkan. Tapi tak mungkin mengelak, ia objek utama dari semua cerita disini. 

Masuklah kesini, akan kau lihat lagi, orang- orang yang ketika diawal bertemu dengannya tampak begitu segar, apalagi kesegarannya ditambah lagi dengan polesan produk-produk terbaik untuk kulitnya, maka sekarang tak terlihat lagi demikian. Ah, bayangkanlah sendiri. 


Masuklah kesini, lalu simpulkanlah sesuatu, setelah segalanya kau teliti satu per satu.


Friday, June 5, 2015

10 Tanda Degradasi Ruhiyah Aktivis Dakwah


Anda seorang aktifis dakwah? Waspadailah jika salah satu dari sepuluh hal berikut menimpa Anda, karena ia mengindikasikan terjadinya degradasi ruhiyah.

1. Dusta

Rasulullah pernah mengingatkan bahwa seorang mukmin tak mungkin menjadi pembohong. Jika aktifis dakwah mulai berani berbohong, saat itulah indikasi degradasi ruhiyah terjadi.

Kadang kebohongan terjadi pada saat seseorang terjepit atau ingin mengais keuntungan tertentu. Misalnya untuk mendapatkan “pembenaran” atas ketidaksertaannya dalam aktifitas dakwah yang berat, yang sebenarnya ia tak memiliki alasan untuk meninggalkannya kecuali sikap malas. Di zaman Rasulullah, ini pernah terjadi pada perang Tabuk. Di mana kaum munafikin yang tidak ikut berangkat perang membohongi Rasulullah dengan berbagai alasan saat beliau kembali di Madinah; agar keabsenannya dimaklumi dan dimaafkan.

Kebohongan juga bisa terjadi pada saat munculnya momentum yang memberikan peluang keuntungan besar melalui kebohongan. Yang jika ia jujur, menurut pertimbangannya, peluang itu akan lewat begitu saja. Ingatlah, bahwa tujuan yang baik harus dicapai dengan cara yang baik.

2. Tak memenuhi janji

Berhati-hatilah jika Anda tidak memenuhi janji untuk menjalankan kewajiban dakwah yang telah Anda sepakati. Atau Anda mulai “toleran” dengan keterlambatan menghadiri forum-forum dakwah pekanan dan sebagainya. Kita patut waspada bahwa itu merupakan ingkar janji yang termasuk tanda-tanda kemunafikan, di mana saat itu terjadi degradasi ruhiyah dan keimanan.

“Ada tiga tanda kemunafikan,” sabda Rasulullah dalam riwayat Al Bukhari, “yaitu bila bicara ia dusta, bila berjanji ia ingkar, dan bila diberi amanah ia berkhianat.”

3. Mengkhianati amanah

Tiga hal pertama, termasuk mengkhianati amanah ini juga merupakan tanda kemunafikan seperti disebutkan dalam terjemah hadits di atas. Sekecil apapun amanah yang diembankan kepada Anda, termasuk amanah kepanitiaan, amanah di wajihah, amanah di struktur dakwah; pada saat Anda menyia-nyiakannya, tidak mau menunaikannya, itu merupakan indikasi degradasi ruhiyah. Perlu sebuah introspeksi mengapa kita tak mau menunaikan amanah yang sudah kita terima; apakah kita menerima amanah karena Allah, atau karena mengincar tujuan duniawi? Jika karena Allah, bangkitlah! Jangan biarkan degradasi ruhiyah berkelanjutan dan menggerogoti keimanan.

4. Takut berjuang dan berdakwah

Ini juga tanda degradasi ruhiyah. Jika Anda tak lagi berani bergerak, berharakah, berjuang mendakwahkan Islam; ketahuilah bahwa saat itu sedang terjadi degradasi ruhiyah. Kembalilah kepada keyakinan yang benar bahwa rezeki ditentukan Allah dan masa depan dalam genggaman Allah.

Mengapa takut lingkungan membenci Anda jika Anda sedang bergerak meraih ridha Allah dan cinta-Nya? Perusahaan mungkin bisa memecat Anda karena aktif berdakwah, tetapi ia takkan melakukannya selama Anda tetap profesional dalam bekerja. Lebih dari itu, tak seorang pun bisa menghalangi Anda dari rezeki yang lebih besar yang sudah Allah siapkan.

“Barangsiapa yang tidak berjihad dan tidak meniatkan dalam hatinya untuk melakukannya, ia membawa satu cabang kemunafikan pada kematiannya.” (HR. Muslim)

5. Su’udhan (Buruk Sangka)

Di saat Anda berprasangka buruk terhadap sesama aktifis dakwah yang berubah menjadi kaya, khawatirlah bahwa degradasi ruhiyah sedang melanda. Aktifis dakwah yang menjadi kaya setelah mendapatkan jabatan publik memang menimbulkan godaan untuk berburuk sangka. Tapi itulah cara syetan menyerang, padahal kita tak pernah tahu bahwa pada saat yang sama usaha atau bisnis aktifis dakwah itu berhasil setelah bertahun-tahun sebelumnya ia rintis dan ia kembangkan.

Kadang buruk sangka juga menjadikan qiyadah dakwah sebagai sasarannya. Bahkan pada kisah haditsul ifki kita bisa mengambil ibrah betapa pemimpin terbaik seperti Rasulullah pun, keluarganya pernah menjadi sasaran buruk sangka sebagian orang.

“Hindarilah oleh kalian prasangka,” sabda Rasulullah dalam riwayat Muslim, “karena itu seburuk-buruknya perkataan.”

6. Ghibah

Tanda degradasi ruhiyah berikutnya adalah ghibah. Yakni ketika seorang aktifis dakwah membincangkan hal-hal yang tak disukai seadainya didengar oleh orang yang dibincangkan. Ghibah juga menjadi tanda memudarnya ukhuwah sehingga ketika ada kelemahan, kekurangan atau kesalahan aktifis dakwah, yang bersangkutan tidak diingatkan dan dikoreksi, malah aibnya disebarkan.

“Sukakah salah seorang diantara kalian memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al Hujurat : 12)

7. Hasad (dengki)

Hasad kepada sesama aktifis dakwah umumnya sulit ditemui pada fase awal atau perintisan dakwah. Di masa-masa sulit seperti itu, ketika semua aktifis dakwah berjuang “mati-matian” dalam kesulitan, hasad adalah penyakit hati yang sangat langka.

Namun, seiring dengan kemajuan dakwah, terbukanya kesempatan, dan teraksesnya kekuasaan, hasad bisa menjadi ancaman. Nah, aktifis dakwah yang tidak suka dengan kemajuan saudaranya, kesuksesannya, jabatannya, kekuasaannya, lalu berupaya menghilangkan nikmat itu; itulah hasad yang menjadi tanda degradasi ruhiyah. Bahkan saat ketidaksukaan muncul saja, hanya karena alasan dunia –mengapa dia dan bukan saya- itu saja sudah sangat mengkhawatirkan bahwa keruntuhan ruhiyah kita sedang berjalan.

8. Sering lalai dan mencari-cari alasan

Lalai terhadap komitmen amal ibadah yaumiyahnya, lalai terhadap amanahnya, lalai syura dakwahnya, lalai agenda pekanannya, lalu berupaya mencari alasan pembenar agar bisa disebut udzur adalah bagian dari tanda degradasi ruhiyah. Demikian pula saat aktifis dakwah mencari-cari celah atau menabrak hal-hal makruh dan syubhat sehingga akhirnya terjerembab dalam dosa dan pelanggaran.

“Seorang hamba takkan mencapai derajat ketaqwaan, sehingga ia meninggalkan perkara mubah baginya karena khawatir terjerumus masalah yang mengandung dosa.” (HR. Tirmidzi)

9. Suka popularitas, tak semangat dalam amal rahasia

Di saat mihwar dakwah telah sampai pada mihwar muasasi, gerbang amal amah terbuka gegap gempita. Banyak peluang popularitas di sana, banyak kemasyhuran menanti pelakunya. Jika pada saat seperti ini agenda dakwah khas dinomorduakan, tak ada gairah dan semangat menempuhnya, ketahuilah bahwa itu bagian dari riya’ yang menunjukkan degradasi ruhiyah kita.

10. Menjauhi syura

Jika Anda tak lagi menyukai syura, ingin menghasilkan keputusan dakwah sendiri, ingin mengambil kebijakan sendiri, sangat boleh jadi saat itu ruhiyah sedang melemah. Sebab ia hanya bermuara pada dua hal; pertama, menganggap orang lain dan jamaah dakwah tidak lebih baik dan lebih pintar dari Anda. Artinya ujub dan takabur tengah menjangkiti. Kedua, timbul keinginan untuk “berkuasa” diantaranya dengan bebas menentukan segalanya, termasuk menentukan arah dakwah demi kepentingan pribadi.

Syura adalah prinsip dalam amal jamai dan harus selalu ditegakkan dalam semua marhalah yang dilalui. “..sedang urusan mereka (diputuskan) dengan syura diantara mereka…” (QS. Asy Syura : 38).